Pertemuan singkat

sambungan "AKU"

45 menit upacara bendera sudah selesai dilaksanakan, semua siswa dilapangan segera berhambur ke kelas masing masing.

"kamu sudah kerjakan tugas matematika DI?" sapa nuril memecahkan kebisuanku

"sudah dong :D, kamu? Sudah apa belum?"

"hehehe sudah juga, mati aku kalo harus ngedengerin pak sutaji ceramah, bisa berjam jam kan? Mending aku kerjakan tugas aja"

"hahaha, kamu bisa aja ril?"

"oyah, aku kekantin dulu yah beli air minum, kamu mau juga?"

"gak usah, aku sudah bawa dari rumah kok"

"oh, yasudah deh, kalo gitu kamu kekelas aja dulu? Sekalian aku nitip tas yah?"
nuril segera melepaskan tas dan melemparkannya padaku serta bergegas lari ke kantin.

Nuril memang orang yang gak pernah mau kalah dengan lelaki, kelincah serta sifatnya yang keras kepala membuat dia menjadi sasaran empuk bagi anak anak yang belaga menjadi preman disekolah ini, namun dia tetap saja percaya diri dan gak mau kalah, apabila di bully sama preman preman sekolah ataupun kakak kelas seperti mereka.

Sesampainya dikelas aku segera membaca ulang pelajaran sebelumnya yang akan di lanjutkan hari ini.
Pelajaran pertama hari ini bahasa indonesia.
Ini merupakan pelajaran yang teramat sangat tidak diinginkan di kelas kami, semua itu terjadi bukan karena pelajarannya membosankan, namun gurunya yang tidak begitu "pas" dihati.
Sebut saja pak slamet, dengan prawakan pendek dan sedikit gemuk, beliau selalu mengajar di iringi dengan hujan lokal, kalau ada siswa belum mandi, bisa saja duduk didepan supaya bisa cuci muka, sealain itu beliau juga suka bertele tele dan tidak begitu menguasai pelajarannya sehingga siswa/siswi enggan mendengarkan semua penjelasannya.

Belum sempat pak slamet masuk ada sesosok perempuan yang terlihat ngos ngosan sambil mencariku.
Dia adalah mbak nia, tetangga sebelah rumah dia segera menghampiriku dan mengajakku untuk mengikutinya.
"ada apa memangnya mbak?" tanyaku penuh dengan kebingungan

"ayo ikut embak di? Ada yang pengen embak tunjukin ke kamu?"

"emangnya nunjukin apa mbak?" aku pun semakin bertanya tanya sendiri

"sudah ikut aja dulu? Nanti embak jelasin dijalan" mbak nia pun segera menarikku untuk pergi bersamanya

"tapi mbak? Saya belum ijin, lagian ada apa sih memangnya?"

"gak usah ijin dulu? Nanti aja?, hmmmm anu, ibumu tadi bertengkar dengan ayahmu?"
seketika aku kaget dan semakin tidak tenang

"lalu gimana dengan ibu mbak? Mereka ada dimana"

"mereka ada dirumah tadi, tetangga sebelah juga gak ada yang berani ikut campur?"

"ya sudah deh mbak? Kalau gitu saya duluan aja deh? Makasih ya mbak?" tanpa berfikir panjang lagi hadi berlari sekencang kencangnya, serasa dia udah tak menginjak kan kaki lagi di bumi ini, yang ada dibenaknya cuma kegelisahan akan ibunya, karna apabila sudah kelahi ayah seperti orang kesetanan, bahkan tak kenal lagi keluarga atau yang lainnya.

Hadi bergegas lari kerumahnya yang tinggal beberapa meter dihadapannya, kelihatannya tak ada yang aneh dengan keadaan rumah, sampai akhirnya dia buka pintu dan tak ada seorangpun didalamnya, namun keadaan rumah sudah sangat berantakan.

Hadi semakin gelisah melihat itu semua, dia bergegas mencari tau ke tetangga sebelah tentang keberadaan ibu dan ayahnya, hingga akhirnya dia diberitahu kalau ibunya dibawa ayah ke tebing dekat rumahnya.
Hatinya semakin tak karuan, dia tak bisa berfikir jernih lagi, semua hal buruk berkecamuk dibenaknya, hingga akhirnya dari kejauhan dia melihat ibunya yang sedang menangis dan di seret oleh bapaknya.
"ibu'????" teriak hadi dari kejauhan.
Bergegas dia sekencang kencangnya dan mendorong ayah hingga terjatuh, lalu memeluk erat ibunya dengan uraian air mata.

"sekarang semua keputusan ada padamu DI? Kau memilih tinggal bersama ibumu atau aku, ayahmu"

"hahaha, kamu itu memang orang gila yah? Aku sudah tak punya ayah, apalagi jika ayahku adalah orang sepertimu?, kamu tuh tak punya hati? Kau tega menyakiti ibuku? Apa mungkin seorang suami tega menyakiti istrinya? Kau bukan ayahku?"

"oh, jadi selama ku tinggal, ini yang ibumu ajarkan? Menentang dan melawan orang tuamu? Dasar anak tak tau diri" seperti tanpa beban ayah segera menampar ibuku, namun malah akulah yang terkena tamparan itu.
Emosiku sudah tak terkendali segera aku bangkit dan mendorong ayah hingga terjatuh lagi "jdarrrr" tiba tiba terdengar suara hentakan di telingaku.
Kalang kabut aku terbangun dari tidurku, "bapak?" sapaku pada pak slamet yang sudah berada dihadapanku.
"ini itu kelas, bukan hutan, kenapa kamu teriak teriak histeris sekali?" tanya pak slamet singkat dengan muka yan tak biasanya
namun aku hanya bisa menundukkan kepala, seraya menyesali kesalahanku ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

hidup ini perjalanan.
dan tulisan adalah kenangan

apa yang kamu coretkan, itulah yang akan selalu di ingat oleh setiap orang.